Digitalisasi Ekonomi dan Keuangan Inklusif

EKONOMI & KEBIJAKAN

Eric Aryasatya

Semarang - Digitalisasi ekonomi semakin menjadi arus utama dalam pembangunan nasional. Pemerintah, sektor swasta, hingga lembaga keuangan gencar mendorong transformasi digital sebagai jalan menuju inklusi keuangan. Namun, di balik peluang besar tersebut, masih ada tantangan kesenjangan akses, literasi digital, dan perlindungan konsumen yang perlu segera diatasi.

Laporan Bank Indonesia (BI) mencatat transaksi ekonomi digital mencapai lebih dari Rp1.600 triliun sepanjang 2024, tumbuh sekitar 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan ini ditopang oleh e-commerce, layanan dompet digital, hingga perkembangan fintech. Meski begitu, akses layanan digital belum merata. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tingkat inklusi keuangan nasional mencapai 85 persen, namun tingkat literasi baru 55 persen.

Perubahan Pola Konsumsi Masyarakat

Perkembangan ekonomi digital mendorong perubahan perilaku konsumsi. Generasi muda menjadi pengguna utama layanan pembayaran digital, mulai dari transaksi sehari-hari hingga investasi ritel. Fenomena ini menciptakan peluang pertumbuhan baru, sekaligus memperlihatkan ketimpangan.

Masyarakat perkotaan lebih cepat beradaptasi dengan ekosistem digital, sementara sebagian daerah terpencil masih terkendala jaringan internet, keterbatasan perangkat, dan biaya akses. Kondisi ini membuat manfaat ekonomi digital belum sepenuhnya inklusif.

Peran Pemerintah dan Lembaga Keuangan

Untuk menjawab kesenjangan, pemerintah meluncurkan program percepatan digitalisasi pembayaran, termasuk QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) yang ditargetkan bisa digunakan hingga ke pelosok desa. Data BI menyebutkan jumlah merchant QRIS telah menembus 40 juta pada pertengahan 2025.

Selain itu, pemerintah juga menyalurkan bantuan sosial (bansos) melalui sistem digital. Langkah ini diharapkan mampu mempercepat distribusi sekaligus mendorong masyarakat terbiasa menggunakan layanan keuangan formal.

“Digitalisasi ekonomi tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal akses dan keadilan. Inklusi keuangan akan tercapai bila semua lapisan masyarakat bisa terhubung dengan layanan digital secara aman,” demikian catatan riset Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LD UI) dalam laporan terbarunya.

Tantangan Literasi dan Perlindungan Konsumen

Meski transaksi digital meningkat pesat, masih banyak masyarakat yang belum memiliki pemahaman memadai tentang manajemen risiko. Kasus penipuan online, pinjaman ilegal, hingga penyalahgunaan data pribadi menjadi ancaman nyata.

Pengamat ekonomi digital dari CORE Indonesia menilai literasi keuangan digital menjadi kunci. “Pertumbuhan transaksi harus diimbangi dengan edukasi yang kuat. Tanpa itu, digitalisasi bisa menimbulkan masalah baru, seperti jebakan pinjaman online yang tidak sehat,” tulisnya dalam analisis yang dipublikasikan awal September.

OJK sendiri melaporkan masih ada ratusan aplikasi pinjaman online ilegal yang beroperasi dan merugikan konsumen. Penindakan terus dilakukan, tetapi kebutuhan edukasi publik dinilai lebih mendesak untuk mencegah korban baru.

Dampak terhadap UMKM

Digitalisasi juga memberi dampak signifikan pada pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Platform digital memungkinkan UMKM memperluas pasar, mengurangi biaya operasional, dan meningkatkan daya saing. Namun, kendala akses modal dan keterampilan digital masih menjadi hambatan.

Kementerian Koperasi dan UKM mencatat baru sekitar 30 juta UMKM yang terhubung ke ekosistem digital, dari total lebih dari 64 juta UMKM di Indonesia. Artinya, separuh lebih pelaku usaha kecil masih beroperasi secara konvensional.

“Jika UMKM tidak ikut masuk ke ekosistem digital, mereka akan tertinggal. Peran pendampingan, pelatihan, dan akses pembiayaan digital harus diperkuat,” ujar seorang peneliti ekonomi dari Universitas Gadjah Mada dalam forum nasional UMKM 2025.

Analisis Akademisi

Dari perspektif akademisi, digitalisasi ekonomi adalah peluang besar untuk mempercepat pertumbuhan inklusif. Namun, tanpa strategi pemerataan, justru bisa memperlebar kesenjangan. Kelompok masyarakat berpendapatan rendah berisiko semakin tertinggal jika tidak diberi akses dan literasi memadai.

Menurut analisis Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga, ada tiga prioritas utama: memperluas infrastruktur digital ke daerah tertinggal, memperkuat literasi keuangan digital, dan menciptakan regulasi perlindungan konsumen yang adaptif.

Perspektif ke Depan

Digitalisasi ekonomi Indonesia memang sudah berjalan pesat, tetapi inklusi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pertanyaan kuncinya bukan lagi apakah digitalisasi akan terjadi, melainkan siapa yang akan diuntungkan dan siapa yang tertinggal.

Apakah generasi muda dan UMKM bisa menjadi motor utama ekonomi digital? Ataukah kesenjangan akses justru menciptakan kelas baru yang semakin jauh dari sistem keuangan formal?

Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan arah pembangunan ekonomi Indonesia dalam satu dekade ke depan.

(Eric Aryasatya/PriceandPeople)